Rabu, 20 Desember 2017

HABIB ALI KWITANG, NU, BANSER DAN BETAWI

HABIB ALI KWITANG, NU, BANSER DAN BETAWI

Ribuan manusia memadati area Kwitang pada Rabu-Kamis 13-14 Desember 2017 untuk menghadiri Majelis Rauhah, Ziarah Kubro dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Majelis Taklim Habib Ali Al Habsyi Kwitang Jakarta Pusat. Kegiatan yang digelar setiap tahun di akhir Kamis bulan Rabiul Awal itu memang selalu dihadiri oleh para ulama, habaib, pejabat dan para jama'ah dari berbagai daerah.

Ada yang menarik dalam Majelis Rauhah, Ziarah Kubro dan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kwitang tahun ini yaitu dengan dilibatkannya Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) dan FPI sebagai panitia bersama. Tentu saja keterlibatan GP Ansor/Banser dan FPI dalam acara tersebut menimbulkan berbagai tanggapan, ada yang bergembira, terharu, simpati bahkan ada juga yang "nyinyir dan plintir"

GP Ansor selama bulan Rabiul Awal memang kerapkali mengadakan atau dilibatkan dalam Maulid Nabi di berbagai tempat. Di antaranya adalah GP Ansor Jakarta Timur mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Kamis 23 November di Pondok Pesantren Al Hamid Cipayung dengan mengundang Habib Syekh Bin Abdul Qodir Assegaf Solo, Habib Muhammad Bin Abdurrahman Assegaf, Habib Ali Bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Jindan Bin Novel Bin Salim Jindan. Sehari setelahnya, Jumat, 24 Nov GP Ansor Jakarta Pusat dilibatkan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Kemayoran Bersholawat yang dihadiri oleh Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dan para habaib lainnya kemudian Banser DKI Jakarta dilibatkan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Tausiyah Kebangsaan di Silang Monas yang dihadiri oleh Habib Lutfhi Yahya dan para habaib lainnya.

Partisipasi Banser dalam 3 (tiga) Maulid Nabi sekala besar di atas yang dihadiri para ulama dan habaib itu nampaknya menjadi perhatian Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi dan kemudian mengajak agar GP Ansor dan Banser juga bisa terlibat dalam Maulid Nabi Muhammad SAW di Kwitang. Tentu saja bagi GP Ansor itu merupakan kehormatan yang sangat luar biasa dan dengan senang hati menyambutnya.

GP Ansor dan Keluarga Besar NU sangat memahami bahwa Habib Ali Al Habsyi Kwitang semasa hidupnya memiliki ikatan emosional dengan NU dan sangat berperan dalam mengembangkan NU dan Islam Ahli Sunnah Wal Jama'ah di tanah Betawi.

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dilahirkan di Kwitang pada 20 Jumadil Akhir 1286 H/20 April 1869 M. Ayahnya, Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad al-Habsyi adalah kelahiran Petak Sembilan Semarang, seorang bangsawan kaya dan ulama terkenal saat itu. Ayahnya kemudian pindah ke Jakarta dan menikah dengan Nyai Salmah binti Haji Ali, seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang).

Habib Ali Al Habsyi dan KH Ahmad Marzuqi (Guru Marzuqi) adalah salah satu tokoh penting dibalik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di tanah Betawi. Ketika belajar di Makkah, Guru Marzuqi berteman dengan KH. Hasyim Asy’ari. Guru Marzuqi langsung tertarik ketika mendengar bahwa temannya, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU di Jawa Timur. Namun sebelum memutuskan untuk mendirikan NU di Jakarta, Guru Marzuqi pergi ke Jombang Jawa Timur untuk mengetahui visi misi dan ajaran NU. Begitu mengetahui bahwa NU memiliki kepahaman yang sama dengan masyarakat Betawi di bidang aqidah Islam Ahli Sunnah Wal Jama’ah dan setelah bermusyawarah dan meminta restu Habib Ali Al Habsyi maka Guru Marzuqi mendeklarasikan NU pada tahun 1928 di Jakarta dan ia sebagai Rais Syuriah hingga wafat pada 1934.

Habib Ali Al Habsyi lalu memerintahkan segenap murid muridnya untuk membantu perjuangan NU dan terjun langsung dalam organisasi tersebut. Murid murid Habib Ali banyak sekali bahkah boleh disebut hampir sebagian besar ulama NU dan Betawi berguru kepada Habib Ali, di antaranya Muallim Thabrani Paseban, KH. Abdul Hadi Pisangan, KH. Zayadi Muhajir Klender, KH. Thohir Rahili Bukit Duri, KH. Abdurrazak Makmun, KH Ismail Pedurenan, KH. Muhammad Naim Cipete, KH. Abdul Rasyid Ramli, KH. Rahmatullah Shidiq, KH. Syafi’i Hadzami, Dr. KH. Nahrawi Abdul Salam dan lain-lain.

Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya. Sedangkan KH. Abdullah Syafi’i yang saat itu masih muda dan gagah menjadi tokoh Partai Masyumi. Pada pemilu 1955 di Jakarta, NU dan Masyumi bersaing merebut massa pemilih. Kendati berbeda partai tidak mempengaruhi hubungan antar guru dan murid dan sesama murid. Ada beberapa ulama Betawi kendati bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah tetapi menjadi aktivis Masyumi, seperti KH, Nur Ali dan lain lain.

Hubungan Habib Ali Al Habsyi dengan para pendiri NU terjalin dengan baik. KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah jika berada di Jakarta maka hampir dipastikan bersilaturahim ke rumah Habib Ali Al Habsyi atau mengikuti pengajian minggu pagi di Majelis Taklim Habib Ali Al Habsyi. Silaturahim juga dilanjutkan oleh anak dan cucu KH Hasyim Asy'ari seperti KH Wahid Hasyim yang sering berkunjung ke Kwitang dengan mengajak anaknya, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang masih kecil saat itu. Bahkan Gus Dur saat kecil sempat "ngalap berkah" dengan membaca dan menghatamkan beberapa kitab kecil dihadapan Habib Ali dan disaksikan oleh ayahnya Gus Dur, KH Wahid Hasyim. Maka tak heran ketika Gus Dur menjadi Presiden RI masih sering berziarah ke makam Habib Ali Al Habsyi dan menghadiri pengajian di majelis taklim Kwitang.

Habib Ali Al Habsyi juga sangat dekat dengan H. Abdul Manaf bin H. Muhammad Jabbar, tokoh NU dan pengusaha Betawi yang tinggal di Batu Tulis Jakarta Pusat. H. Abdul Manaf di samping sahabat dan murid Habib Ali juga kakek dari Dr. Ing. H. Fauzi Bowo, Mantan Gubernur DKI Jakarta dan Mantan Ketua PWNU DKI Jakarta.

Pada Ahad 20 Rajab 1388 atau 13 Oktober 1968 sekitar pukul 20.45 Habib Ali Al Habsyi wafat dalam usia 99 tahun masehi atau 102 tahun hijriah dan dimakamkan di samping Masjid Ar Riyad Jalan Kembang VI Kwitang Jakarta Pusat.

Alfatihah.....

Sawah Besar, Jumat, 15 Desember 2017


Senin, 16 Februari 2015

KH. Mahmud Romli (GURU MAHMUD MENTENG) 1866-1959

            Asal usul ulama kelahiran daerah Menteng yang sering dipanggil Guru Mahmud ini tidak terlalu jelas. Tradisi penghormatan kepada Guru yang demikian kuat telah menghalangi para muridnya, bahkan anak-anaknya sendiri untuk menanyakan langsung riwayat hidup Guru Mahmud kepada yang bersangkutan. Adalah tidak sopan atau su’ul adab untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada Guru, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa diminta oleh muridnya. Terlebih lagi Guru Mahmud dikenal tidak suka banyak bicara, sehingga sangat sedikit informasi yang diperoleh mengenai kehidupan masa kecil dan remajanya.
            Hanya sedikit saja informasi yang dapat diketahui mengenai dirinya semasa masih remaja. Guru Mahmud berangkat ke tanah suci bersama orang tua dan ketiga saudaranya. Namun, semua anggota keluarga ini meninggal di tanah suci, kecuali Guru Mahmud seorang, ia kemudian mengembara di Jazirah Arabia seorang diri selama hampir 17 tahun. Untuk mempertahankan hidup, ia pernah bekerja sebagai anggota satuan pengaman kafilah dagang yang melintas gurun-gurun Saudi. Beberapa kebiasaan selama di sana rupanya masih terbawa hingga kembali ke tanah air, seperti kesukaannya menunggang kuda dan tidak banyak bicara. Untuk nafkah hidup sekembali di tanah air, ia berdagang burung dan batu-batuan. Meskipun terbuka kesempatan menjadi penghulu, ia menolak bekerja dan ia hanya mengharapkan “gaji dari Tuhan saja”
            Guru Mahmud mempunyai banyak hobi. Di antaranya adalah memelihara burung. Ia juga ahli dalam melatih kuda-kuda yang masih liar untuk dijadikan kuda penarik delman. Ia juga pedagang yang menjual balsem, keris, burung hingga batu cincin.
            Kehidupan sehari-harinya, Guru Mahmud tidak menampakkan kealimannya. Cara berpakaiannya sangat sederhana dan membuat orang yang tidak mengenalnya tidak mengetahui bahwa ia seorang ulama. Ia biasa memakai kaos dengan bercelana pangsi dan sering duduk-duduk bersama dengan tukang-tukang batu cincin, tukang loak, tukang gado-gado dan sebagainya. Hal ini yang membuat orang awam sangat dekat dan tidak sungkan bercanda dengannya. Tetapi para ulama sangat menghormatinya karena kedalaman ilmunya.
            Guru Mahmud dikenal sebagai “jagoan” yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniaannya terhadap siapapun. Tetapi ia juga terkenal sebagai ulama Tafsir, yang di mata muridnya tampak kikuk apabila tiba waktu ngaji ia kelihatan masih mengurusi burung-burungnya. Para murid hasil didikannya yang menjadi ulama antara lain Muallim Thabrani Paseban, KH. Abdul Hadi Pisangan, KH Muhammad (Muallim Muhammad) dari Cakung, Muallim Syafrie dari Kemayoran dan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Fathullah Harun dan KH Syafi’i Hadzami.
         Semasa hidupnya, Guru Mahmud mendirikan Madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi Ketua Masjid Tangkuban Perahu sejak 1908 sampai meninggal dunia. Masjid tersebut awalnya bernama Masjid Shihabudin yang didirikan di daerah Menteng sekitar tahun 1870-an oleh Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab. Ketika tempat tersebut akan dibangun Tangsi Militer, Masjid Shihabudin pada tahun 1912 dipindahkan ke Jl. Tangkuban Perahu, Guntur Setia Budi Jakarta Selatan.
      Guru Mahmud wafat pada 27 Ramadhan atau sekitar tahun 1959 M dalam usia 93 tahun. Awalnya ia dimakamkan di Karet kemudian dipindah ke TPU Jagakarsa Jakarta Selatan. 

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
ISBN978-602-98466-1-4

Selasa, 10 Februari 2015

SAYYID USMAN BIN ABDULLAH BIN AQIL BIN YAHYA (1822-1914). MUFTI BETAWI




             Sayyid Usman lahir di Pekojan pada tanggal 17 Rabbiul Awal 1238 H/01 Desember 1822 M. Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Agil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurrahman al-Misri.
        Sayyid Usman pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji tetapi kemudian bermukim di sana selama 7 tahun dengan maksud memperdalam ilmunya. Di Mekah ia belajar pada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Mekah.
            Pada tahun 1848 ia berangkat pula ke Hadramaut untuk belajar pada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar. Dari Hadramaut ia berangkat pula ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis (berguru pada Syaikh Abdurrahman al-Maghgribi), Istambul, Persia dan Syria.  Maksud Sayyid Usman bepergian dari suatu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu ia kembali ke Hadramaut.
            Pada tahun 1279 H/1862 M ia kembali ke Batavia dan menetap di sini hingga wafatnya pada tahun 1331 H/1913 M. Sayyid Usman diangkat menjadi mufti menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Syaikh Abdul Gani yang telah lanjut usianya dan juga sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab (1899-1914) di kantor Voor Inlandsche Zaken. Di sana Sayyid Usman digaji 100 Gulden sebulan atau 1/7 dari gaji Snouck Hurgronje. Ia terlibat dalam politik sebagai penasehat pemerintah Belanda dan menjalani hubungan dengan Snouck, L.W.C. Van den Berg dan K.F. Holle.
            Di Batavia, ia juga mengabdikan hidupnya untuk berdakwah, mengajar dan menulis. Ia merupakan guru agama yang dicari masyarakat Betawi. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan dengan bantuan ulama terkenal Abdul Ghani Bima. Sayyid Usman dengan tegas menolak perkawinan antara Sayyid dan non Sayyid dan kerapkali berpolemik dengan ulama lain. Dia pernah mengkritik keras Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Syaikh Sulaiman al-Affandi yang memperkenalkan tariqat Naqshbandiyah di Minangkabau. Menurut Sayyid Usman, tarekat ini telah membawa kehancuran umat Islam. Dia juga terlibat polemik dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang “dua masjid” di Palembang. Sayyid Usman juga sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat radikal. Dalam bukunya “Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru” dia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.
            Sayyid Usman membantu Belanda dalam persoalan politik karena menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan menegakkan hukum guna keamanan. Oleh karenanya banyak ulama kurang bersahabat dengannya. Dalam karyanya “Minhâj al Istiqâmah fî al-Din al-Salâmah (1307/1889-1890) dia membahas tentang jihad. Dalam karya itu ia menjelaskan jihad di Banten yang muncul pada 1888. Menurutnya, jihad di Banten adalah salah memahami tentang ajaran Islam. Menurutnya jihad tersebut adalah hanya gangguan keamanan yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia menyebut para pelaku jihad adalah syaitan karena pengikut jihad telah mengabaikan ajaran Islam.
            Sayyid Usman merupakan ulama yang berorientasi pada syariah dan mengkritik praktek bid’ah. Dia sangat kritis tentang ahli tarikat atau tasawuf. Menurutnya, tasawuf tidak boleh diajarkan kepada orang awam. Seorang harus memahami tauhid, fiqih dan sifat hati untuk memahami tasawuf. Sayyid Usman berpendapat bahwa Islam terdiri dari tiga bagian, syariah, tariqah dan haqiqah. Syariah adalah semua perintah dan larangan Allah. Tariqah adalah implementasi syariah dan haqiqah adalah adopsi konsep bahwa semua adalah ciptaan dan milik Allah dan tujuan akhir mereka telah ditentukan oleh Allah SWT. Dia berpendapat bahwa para sufi masa kini hanya menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tariqah mereka. Dia berpendapat bahwa tariqah-tariqah yang didirikan oleh al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi, al-Sadah al-Alawiyah, tariqah dari al-Ghazali, al-Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqshabandiyah dan Khalwatiyah adalah tariqah yang sesuai dengan syariah. Sayyid Usman menyepakati bahwa beberapa sufi di masa silam adalah orang keramat karena mereka adalah aulia Allah. Akan tetapi tariqah Naqshbandiyah yang dirintis oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Sulaiman al-Affandi yang mempunyai pengikut di dunia Arab dan Nusantara telah banyak kesalahan.
            Kendati demikian, Muhammad Syamsu berpendapat bahwa jika ada asumsi bahwa Sayyid Usman adalah orang yang anti tarekat, maka tidak benar sebab ia belajar tasawuf dan tarekat di Hadramaut dan Makkah. Sayyid Usman hanya menentang tarekat yang menyimpang dari agama. Selain ke Makkah dan Hadramaut ia belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Jordania dan Turki. Oleh karena budaya modern di negara tersebut maka ia berpakaian modern dan bisa diterima karena luas pergaulannya. Karena ilmunya yang luas maka dia diangkat menjadi Mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
            Sayyid Usman termasuk ulama yang berjasa besar dalam hal pengajaran agama melalui media cetak di kalangan masyarakat Betawi. Ia memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (sekarang daerah Petamburan). Kendati Sayyid Usman tidak memiliki keturunan yang meneruskan jejaknya sebagai juru dakwah tetapi usaha dakwah di Petamburan sekarang diteruskan oleh KH. Usman Abidin. Orang Betawi menyebutnya “Kiai Bima” karena ia adalah seorang keturunan Abdul Gani Bima, ulama terkenal Nusantara di Haramain abad ke-18 yang menjadi salah satu sanad bagi sejumlah ulama Betawi.
            Sebagai seorang ulama, Sayid Usman sangat produktif dengan mengarang 126 lebih buku. Kendati karangannya pendek dan sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat Islam. Beberapa di antara buku karangannya yaitu :
1.      Taudhih al-Adillati ‘ala Syurûthi Syuhûdi al-Ahillah, 1873 M.
2.      Al-Qawânin asy-Syar’iyah li Ahl al-Majâlisi al-Hukmiyah wal Iftâiyah. 1881. Buku petunjuk umum untuk para penghulu.
3.      Ta’bir Aqwa ‘adillah.
4.      Jam’al-Fawâid, 1301 H.
5.      Sifat Dua Puluh.
6.      Irsyâd al-Anâm.
7.      Zahr al-Basim.
8.      Ishlâh al-Hal.
9.      At-Tuhfat al-Wardiah.
10.  Silsilah Alawiyah.
11.  Ath-Thâriq ash-Shahihah.
12.  Taudhih al-Adillah.
13.  Maslak al-Akhyar.
14.  Sa’âdal al-Anâm.
15.  Nafâis an-Nihlah.
16.  Kitab al-Farâid.
17.  Saghauna Sahaya.
18.  Muthâla’ah.
19.  Soal Jawab Agama.
20.  Tujuh Faedah.
21.  An-Nashihat al-aniwah.
22.  Khutbah Nikah.
23.  Al-Qur’ân Wa ad-Dua.
24.  Ringkasan Ilmu Adat Istiadat.
25.  Ringkasan Seni membaca Al-Qur’an.
26.  Membahas Al-Qur’an dan Kesalahan dalam berdoa.
27.  Perhiasan.
28.  Ringkasan Unsur Unsur Doa.
29.  Ringkasan Tata Bahasa Arab.
30.  As-silsilah an Nabawiyah.
31.  Atlas Arabi.
32.  Gambar Makkah dan Madinah.
33.  Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah untuk Sholat.
34.  Ilmu Kalam.
35.  Hukum Perkawinan.
36.  Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah.
37.  Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu.
38.  Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Benda.
39.  Adab al-Insan.
40.  Kamus Arab Melayu.
41.  Cempaka Mulia.
42.  Risalah Dua Ilmu.
43.  Bab al-Minân.
44.  Keluarga.
45.  Khawâriq al-adat.
46.  Kitab al-Manasik.
47.  Ilmu Falak.
            Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdîh al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhûd al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin.
            Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu Sayyid Usman membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan akhirat. Ulama yang tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh termasuk ulama dunia. Sedangkan ulama yang ikhlas, tawadlu, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta’ala hanya mencari ridla Allah semata maka termasuk ulama akhirat.
            Kendati Sayyid Usman diakui keilmuannya, tetapi tidak banyak ulama Betawi terkemuka yang belajar kepadanya. Hal ini kemungkinan dengan posisinya sebagai Penasehat Pembantu bagi pemerintah Belanda pada Het Kantoor voor Islamitische en Arabische Zaken. Bagi para ulama Betawi saat itu, seorang ulama yang bekerja pada pemerintah, sekalipun sebagai penghulu tidak dipandang terhormat kendati ilmunya luas. Kendati demikian, Sayyid Usman telah berhasil mendidik salah satu muridnya dari Kuningan yang kelak menjadi ulama besar yang disegani dan dipanggil dengan sebutan Guru Mugni dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang dipanggil dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
             Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya. Sayid Usman Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, makam Sayid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah Selatan masjid Al-Abidin di jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
 
Penulis: Ahmad Fadli HS
 
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
 
ISBN978-602-98466-1-4

SYAIKH MUJTABA BIN AHMAD AL-BATAWI JATINEGARA



            Syaikh Mujtaba bin Ahmad Al-Batawi adalah seorang ulama Betawi dari Messter Cornelis (sekarang Jatinegara). Ia adalah seorang murid dari Syaikh Junaid Al-Batawi. Syaikh Mujtaba sendiri sebelum merantau ke Makkah telah beistri wanita Betawi.
            Syaikh Mujtaba satu angkatan dengan dengan Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Oleh masyarakat Islam di tanah suci Syaikh Mujtaba mendapat kehormatan dengan diberikannya gelar waliyullah karena kealimannya. Syaikh Mujtaba terkadang kembali ke Betawi untuk menjenguk istrinya dan membawa barang dagangan dari Hejaz dan dijual di Betawi. Ia juga membawa beberapa kitab-kitab agama. Syaikh Mujtaba bermukim di Makkah selama 40 tahun dan memiliki beberapa murid dari Betawi. Di antaranya Guru Mansur Jembatan Lima. 

 
SUMBER :


Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
 
Penulis: Ahmad Fadli HS
 
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
 
ISBN978-602-98466-1-4